Rabu, 07 April 2010

when it's coming true

When it’s Coming True...???
“Melihat tawa mu
Mendengar senandung mu
Terlihat jelas di mata ku
Warna warna indah mu
Menatap langkahmu
Meratapi kisah hidupmu
Terlihat jelas bahwa hatimu
Anugerah terindah yang pernah kumiliki..
Sifatmu kan slalu redakan ambisiku
Tepikan khilafku dari bunga yang layu
Saat kau di sisiku kembali dunia teriak
Tegaskan bahwa kamu
Anugerah terindah yang pernah kumiliki..” (Sheila On 7)

Dari sebuah kenangan masa lalu yang sangat indah.
Na, tokoh utama dari cerita ini, berharap kenangan itu akan selalu manis terasa seperti saat menjalaninya dulu.


Safina Oceaniz– biasa dipanggil Na, bukan seorang artis, bukan seorang gadis yang rajin, dan juga bukan seorang gadis yang telaten. Kesehariannya, Na cenderung merupakan gadis ceroboh, lelet dan bukan tipe gadis yang suka memperhatikan penampilannya. Padahal menurut pendapat teman-temannya, dia memiliki senyuman yang sangat manis dan suka menolong siapa saja yang membutuhkan bantuan darinya.
Na memiliki sahabat yang telah dianggapnya sebagai soulmate-nya dan sering dipanggil dengan sapaan “mamet”. Seorang gadis yang mempunyai prinsip dan pemikiran yang lebih dewasa daripada Na. Segala tindakannya yang menyangkut masa depan harus dipikirkan mulai dari A sampai Z. Benar-benar seorang pemikir, lain dengan Na yang lebih cenderung bertindak dengan spontan. Na sering memanggilnya Syl, lengkapnya Sylvia Anindita.
Ada pula Gendis, seorang gadis yang sedikit ndeso, karena berasal dari luar Jakarta. Biasa disapa Didi, Na sering mengambil posisi di ruang kuliah tepat disampingnya. Walaupun ndeso, Didi tetap lucu dan menyenangkan. Ciri khasnya adalah kawat gigi (behel) dan logat bicaranya yang masih terbawa dari daerah Purworejo, Jawa Tengah.
Kisah Na dan perjalanan hidup bersama Syl dan sahabat lainnya serta soulmatenya akan dimulai dari hari pertamanya berada di kampus.


Angin sepoi-sepoi menemani Na dalam perjalanannya memasuki area kampus hijau itu. Walaupun sepanjang jalan dipenuhi kerindangan pepohonan namun keramaian suasana penerimaan mahasiswa baru membuat Na merasa deg-degan – agak sedikit panik karena kali ini Na mengembalikan fomulir tanpa ditemani mama.
Pada hari sebelumnya, Na bersama mamanya telah berada di kampus tersebut dan sempat berkeliling melihat tata letak kampus. Dari gerbang depan, terdapat sebuah bank untuk mempermudah mahasiswa menyetorkan uang kuliah. Dibelakangnya ada gedung besar yang dinamakan Daksinapati. Didepannya terdapat gedung yang entah apa namanya (Na belom tau) dan sebuah masjid.
Sebelah timur kampus, ada gedung dengan nama BAUK (Badan Administrasi dan Keuangan) , diikuti dengan rangkaian gedung yang memiliki nama sesuai abjad A sampai dengan F. Melihat dan merasakan suasana kampus membuat Na menggumam “Ah... Na jadi ingin secepatnya duduk di ruang kuliah!!!”
Dimana Na nanti menempuh ilmu ya?? Na bertanya dalam hati.
“Oh.. di gedung K lurus aja kearah utara, nanti ketemu pertigaan. Disanalah Fakultas Ilmu Sosial.” Kata seorang senior Na. “Senior yang baik.”
Begitulah kawan, Na diterima di kampus ini sesuai dengan jurusan yang diinginkannya, Geografi. Tak umum memang, di saat teman-temannya, memilih bidang ekonomi ataupun bahasa, Na memilih jurusan ini saat berkonsultasi dengan kakak pembimbing Bimbel.
Seperti diawal sudah diceritakan, Na tidak termasuk anak yang pintar untuk menghitung, telaten untuk duduk di laboratorium, ataupun rajin menghafal cerita masa lalu namun Na menyenangi makhluk hidup, Na suka belajar biologi, alami katanya. Maka Na memilih jurusan geografi yang memiliki kombinasi ilmu sosial dan science nya seimbang.
Di kampus Na, hampir semua lulusannya berprofesi sebagai pengajar karena kampus tersebut memang dibangun dengan tujuan menyediakan calon pengajar yang diharapkan nantinya dapat membangun masa depan pemimpin. “Building Feature Leaders”. Ini merupakan kalimat semboyan yang juga tertulis di dinding dekat teater terbuka, di bagian timur kampus.
“Hei kamu masuk geografi juga ya???” tanya seorang gadis yang memakai behel ketika melihat formulir yang sedang diisi oleh Na.
Na menjawab “iya, kalo kamu dimana?”
“Geografi juga. Kita daftar ulang bareng ya.”
Beginilah awal perkenalan Na dengan Gendis, gadis berbehel itu. Mereka cepat menjadi akrab karena terdapat banyak kesamaan antara keduanya. Na dan Didi-sapaan akrabnya Gendis- menyukai komik, memiliki kucing peliharaan serta mudah untuk menerima teman baru-easy going deh istilahnya.
Sebelum memulai perkuliahan, biasanya setiap kampus mengadakan masa orientasi. Inilah waktu yang biasa dimanfaatkan oleh senior untuk mengenalkan mahasiswa baru kepada suasana kampus. Termasuk tata letak kampus, sistem perkuliahan dan suasana diruang kuliah, tak lupa dosen-dosen yang akan mengajar kami nantinya.
Tak lebih repot jika dibandingkan dengan kampus lain, masa orientasi di kampus Na tergolong ramah dan sangat akademis. Para mahasiswa baru harus saling mengenal dengan mahasiswa baru lainnya. Na diminta untuk mengumpulkan tandatangan dari setiap orang yang ditemuinya. “Mudah saja” pikir Na. Ditambah dengan panitia masa orientasi, kata kakak panitia.
“Duh agak sulit yaaa, Na nerveous jika harus meminta sign nature dari para senior niyh... Didi bantuin Na yaa.”
“Tenang aja Na, bersama Didi pasti semua beres...”
Huft... Lega.


Di sudut lapangan itu, seorang cowok berkacamata yang sedang berkumpul bersama teman-temannya. Dia terlihat misterius karena cenderung pendiam dan memilih membaca buku. Sangat berbeda, disekitarnya terdengar suasana yang riang jika Na mendengar celotehan teman-temannya itu.
Na ingin punya banyak teman, maka Na harus kenalan sama cowok itu juga. Suatu hari nanti, pasti, harus. Entah kenapa Na sangat ingin mengenal cowok tersebut.


“Safiiinaaa...” Na melamun.
“Safina Oceaniz!!” seorang kakak panitia masa orientasi memanggil Na untuk absen.
“Lha kok malah bengong??”
“Kamu ke depan dekat papan tulis itu, perkenalkan diri kamu beserta asal sekolah kamu ya.” Kakak itu menambahkan.
“Safina Oceaniz, dari SMA Jakarta Raya.” Ucap Na sambil menebar senyum.
“Nama kamu unik.” Seseorang menyeletuk.
“Owh.. pantas aja lo mirip” kata seorang kakak senior berambut panjang bergaya meniru Vino G. Bastian, yang tubuhnya juga agak tinggi. Hm.. sepertinya Na pernah melihat kakak itu deh tapi dimana ya?? Apa maksud ucapannya ya?? Na enggak ngerti.


Saat itu Na dan teman satu angkatannya sedang menjalani masa orientasi lanjutan padai tingkat jurusan. Lokasi acaranya cukup jauh dari kampusnya, yaitu di Banten tepatnya Gunung Pulosari. Kakak senior dari angkatan sebelumnya ikut pula menjadi panitianya. Ada banyak dosen yang juga terlibat, mereka berpartisipasi untuk memberikan dasar pembelajaran bagi mahasiswa baru.
Didalam bis, Safina duduk bersebelahan dengan Nurul. Tak lama setelah bis bergerak menjauh dari kampus, ada seorang senior mengajak kami mengobrol.
“Hei Na, kamu dari sekolah mana sih?” tanya seorang senior.
“Dari Jakarta kak, di selatan.”
“Kayaknya tampang kamu itu udah ga asing lagi deh” lanjutnya.
“Hmm... Maksudnya apa kak?? Oh ya, nama kakak siapa ya??”
“Ai, lengkapnya Harianto, Geografi ’03.”
Kawan, ternyata kakak ini telah berada di kampus 2 tahun lebih awal dari Na. Kak Ai ini akhirnya terlibat pembicaraan yang cukup mengesankan. Aneh dan lucu, kata kak Ai di dalam kampus, di jurusan yang sama, Na memiliki kembaran. Lebih tepatnya tampang Na dinilai mirip dengan seseorang.
“Siapa kak? Na kok ga pernah melihatnya siyh??”
“Hm.. kembaran kamu itu cowok”
“Kembar? Cowok? Siapa ya? Nurul pernah lihat?” tanya Na kepada Nurul.
“Enggak pernah deh” jawab Nurul.
“Mungkin dia ga pernah muncul karena bukan panitia dalam masa orientasi kampus, jadi kalian belum pernah bertemu.” jawab kak Ai.
“Lang... oi.. Lang..” Sejurus kemudian, kak Ai memanggil seseorang yang sedang asyik ngobrol bersama senior lainnya, dia berdiri sambil mengenggam pegangan bis. Apa namanya si Bolang ya?? Tanya Na dalam hati sambil senyum-senyum sendiri.
“Langiii....t” jelas kak Ai. Ooooh, Kak Langit toh namanya. Saat cowok yang dimaksud Kak Ai menoleh sedikit, Na heran sekaligus terkejut. Ternyata pendapat kak Ai benar, Kak Langit memang sedikit mirip, bukan dengan Na, tepatnya lebih menyerupai wajah adik Na.
Dari jarak lima setengah meter, Langit mengernyitkan alisnya –terlihat juga oleh Na – sambil melengos mengacuhkan panggilan Kak Ai. Huh dasar sombong, pikir Na. Nurul pun setuju dengan penilaian Na.


bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar